Tampilkan postingan dengan label persaudaraan dan hak sesama muslim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label persaudaraan dan hak sesama muslim. Tampilkan semua postingan

Persaudaran dan Hak Sesama Muslim

Hadith berikut ini menjelaskan tentang masalah persaudaraan dan hak sesama Muslim. Hadith yang diriwayatkan oleh sahabat Abū Hurairah r.a. ini dicatat oleh Imam Muslim dalam kitab al-Sahīh, Rasulullah s.a.w. bersabda:


لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ


Maksudnya: “Jangalah kalian saling hasad, janganlah kalian menawar barang dengan maksud supaya ada orang lain yang menawar dengan harga lebih tinggi, janganlah kalian saling memarahi, janganlah kalian saling memalingkan muka, janganlah kalian membeli barang yang sedang ditawar oleh orang lain, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak boleh menganiaya saudaranya, tidak boleh berbohong kepadanya, tidak boleh merendahkannya, Ketakwaan berada di sini (Rasul menunjuk ke arah dadanya tiga kali). Cukuplah kejelekan seseorang apabila ia menganggap rendah saudaranya yang Muslim. Harta, darah dan kehormatan seorang Muslim haram (tidak boleh dilanggar) oleh seorang Muslim lainnya.”[1]


Hadith ini menerangkan secara menyeluruh aturan untuk berhubungan antara sesama muslim dan juga hak-hak yang harus dipenuhi seorang Muslim kepada sesama. Rasulullah s.a.w. tidak hanya menekankan erti penting persaudaraan dalam Islam, Beliau juga secara langsung menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan dan hal-hal yang harus ditinggalkan oleh seorang Muslim, sehingga ajaran Beliau menjadi ajaran nyata yang dapat dipraktikkan dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain hadith ini menerangkan beberapa aspek hukum Islam yang mempunyai banyak faedah dan kemanfaatan. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahawa aspek-aspek yang disinggung dalam hadith ini jika dijalankan secara sempurna oleh seorang Muslim, bererti dia telah menghias dirinya dengan sebahagian besar akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Imam Ibn Hajar al-‘Asqalānī menegaskan bahawa hadith ini mengandung banyak pengajaran berharga dan menerangkan target serta tujuan-tujuan mulia. Hampir-hampir semua aspek hukum Islam dan akhlak-akhlak yang harus dipraktikkan oleh seorang Muslim disinggung dan dipaparkan dengan jelas dalam hadith ini.


Jika kita perhatikan, hadith ini menerangkan akhlak yang bermacam-macam, dari mulai larangan hasad terhadap orang lain, larangan menawar barang perniagaan dengan maksud mengelabuhi orang lain sehingga mau menawar dengan harga yang lebih tinggi, larangan marah dan berpaling muka terhadap sesama Muslim hingga larangan membeli barang yang sudah ditawar oleh orang lain. Lebih dari itu, hadith ini juga mengajak kita untuk meningkatkan persaudaraan sesama Muslim. Akhlak-akhlak tersebut akan dibahas secara singkat dalam lembaran-lembaran berikut ini:


Pertama: Larangan Hasad


Hasad (dengki) adalah suatu keinginan supaya kenikmatan yang diperoleh oleh orang lain hilang dan berpindah pada dirinya atau orang lainnya.


Perasaan tidak suka apabila ada orang lain yang mengunggulinya dalam satu hal tertentu adalah sifat yang manusiawi. Walaupun sifat seperti ini merupakan tabiat semula jadi setiap manusia, namun ia tetap merupakan sikap yang tercela.


Hasad dan dengki hukumnya adalah haram. Allah s.w.t. sangat mencela perbuatan ini, sebagaimana nampak dalam beberapa firman-Nya yang berisikan kritikan terhadap sikap Banī Isrā’īl: “Sebagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, kerana dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri.” (al-Baqarah, 2: 109).


Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) kerana karunia yang Allah telah berikan kepadanya. Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (al-Nisā’, 4: 54).


Imam Ahmad dan al-Tirmidhī mencatat hadith yang diriwayatkan oleh al-Zubair bin al-‘Awwām bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Penyakit para umat sebelummu akan merambah kepadamu: hasad, dengki dan permusuhan. Permusuhan bagaikan gunting. Bukan rambut yang digunting, tetapi agama lah yang tergunting. Demi Zat yang menguasai Muhammad, kalian ini belum beriman (dengan keimanan yang sempurna) sehingga kalian dapat saling mengasihi. Inginkah kalian saya beritahu hal yang apabila kalian melakukannya maka kalian akan saling mengasihi? Saling mengucapkan salam di antara kalian.”


Imam Abū Dāwud meriwayatkan sebuah hadith yang diceritakan oleh sahabat Abū Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian hasad. Kerana sesungguhnya hasad akan memberanggus kebajikan sebagaimana api membakar kayu bakar.”


Imam al-Hākim juga mencatat sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah r.a.: “Rasul bersabda, Umatku akan terkena penyakit umat-umat terdahulu, Para sahabat bertanya, Wahai Nabi Allah. Apa itu penyakit umat-umat terdahulu? Nabi menjawab: “Senang bersuka ria, tidak mau mensyukuri nikmat dan bersikap sombong, memperbanyak harta dan berlomba-lomba dalam masalah keduniaan, saling bermusuhan dan saling dengki, sehingga akhirnya banyak terjadi perzinaan dan pembunuhan.”


Hikmah Peng-haram-an Hasad


Jika kita kaji lebih teliti, rasa hasad sebenarnya merupakan penolakan terhadap ketetapan (taqdir) Allah s.w.t.. Kenikmatan yang diperoleh orang lain adalah anugerah Allah s.w.t.. Jika kita berusaha untuk menjauhkan atau menghilangkan kenikmatan tersebut dari orang itu, bererti kita tidak menerima terhadap ketetapan Allah s.w.t..


Secara psikologis, sikap iri hati (dengki) ini akan mengganggu kejiwaan orang yang melakukannya. Kesedihan dan kekhawatiran akan selalu menghantuinya dan membuat jiwanya resah.


Pembagian Hasad (Dengki)


Kedengkian banyak ragam dan bentuknya. Berikut ini akan diterangkan beberapa macam kedengkian:




  1. Rasa dengki yang mendorong seseorang berkeinginan supaya anugerah yang diperoleh orang lain hilang. Untuk merealisasikan keinginannya itu dia melakukan tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan yang dilarang agama. Di antara mereka ada yang berusaha memindahkan anugerah itu kepada dirinya, ada juga yang tujuan utamanya hanya menghilangkan anugerah itu dari orang yang dimaksudkan, dia tidak peduli anugerah itu nantinya akan didapat oleh siapa. Yang terakhir ini adalah jenis dengki yang paling jelek.

  2. Ada juga orang yang muncul rasa dengki di hatinya namun dia tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap orang yang ia merasa hasad kepadanya. Diriwayatkan bahawa Imam al-Hasan al-Basrī mengatakan bahawa sikap seperti ini tidak termasuk dosa. Orang yang mendapat cobaan dengan rasa iri seperti ini ada dua macam:

  3. Orang tersebut tidak mampu menghilangkan rasa iri tersebut dari hatinya, kerana rasa itu sering muncul dengan sendirinya, namun dia tetap tidak melakukan tindakan apapun terhadap kawannya itu. Orang yang seperti ini tidak berdosa.

  4. Orang tersebut dapat mengendalikan kemunculan rasa iri di hatinya. Sehingga kadang-kadang dia memunculkan rasa itu dengan disertai keinginan kuat atas hilangnya anugerah yang diperoleh kawannya. Sikap seperti ini sama dengan sebuah niat atau tekad untuk melakukan maksiat. Ulama berbeza pandangan dalam menyikapi masalah ini. Namun orang seperti ini biasanya tidak mengimplementasikan niatnya tersebut pada kenyataan dengan melakukan tindakan atau ucapan yang merugikan kawannya. Yang ia lakukan hanyalah usaha untuk mendapatkan anugerah serupa untuk dirinya. Sikap seperti ini sama dengan sikap sekelompok orang yang disinggung dalam Al-Qur’an surah al-Qasas, 28: 79, yang ertinya: “Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.”


Perlu ditegaskan juga di sini, bahawa terdapat sikap iri yang berdampak positif, iaitu apabila seseorang iri terhadap keutamaan-keutamaan yang menyangkut masalah keagamaan yang dimiliki kawannya, maka sikap iri tersebut akan berdampak positif dan termasuk kebajikan. Rasul s.a.w. sendiri mempunyai keinginan untuk mati syahid di medan perang. Dan Rasul juga bersabda:


لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ


Maksudnya: “Tiada sikap iri hati (hasad yang diperbolehkan) kecuali dalam dua hal: (Iri terhadap) orang yang dianugerahkan harta oleh Allah dan dia menginfakkannya siang dan malam, dan orang yang diberi anugerah (keahlian membaca dan memahami) Al-Qur’an, kemudian dia mengamalkannya siang dan malam.”[2]


Sikap seperti ini dalam bahasa Arab disebut “Ghabtah” (keinginan untuk menyerupai orang lain). Jika sikap seperti ini sering disebut dengan “Hasad”, maka maksudnya hanya sebagai kiasan sahaja, kerana memang terdapat beberapa kesamaan di antara keduanya.




  1. Yang ketiga adalah orang yang mampu mengendalikan rasa iri hati yang muncul di hatinya, dan berusaha untuk menghilangkannya. Tidak hanya sampai di situ sahaja, dia juga berusaha berbuat baik kepada kawan yang menjadi objek kedengkiannya itu, mendoakannya dan menceritakan kebaikan-kebaikannya kepada orang lain. Dia berusaha mengganti rasa dengki dengan rasa cinta. Ini adalah tingkat keimanan yang tinggi. Orang yang mampu melakukannya adalah orang yang sempurna imannya, sehingga mampu mencintakan kawan sebagaimana dia mencintakan diri sendiri.


Kedua: Larangan Menawar Barang dengan Maksud supaya Ditawar Orang Lain Dengan Harga yang Lebih Tinggi (al-Najasy)


Al-Najasy adalah praktik tawar-menawar barangan perniagaan yang dilakukan oleh seseorang dengan harga yang tinggi, namun sebenarnya dia tiada keinginan untuk membeli barang tersebut. Maksud dan tujuannya hanya supaya ada orang lain yang memperhatikan barang itu dan mau membeli dengan harga yang lebih tinggi lagi.


Menurut agama, al-Najasy adalah praktik perniagaan yang ulama sepakat untuk mengharamkannya. Baik orang yang melakukan al-Najasy melakukan kesepakatan dengan penjual barang ataupun tidak. Praktik niaga seperti ini dilarang agama kerana mengandung unsur gharar (penipuan) dan pengelabuhan. Di sisi lain, praktik transaksi seperti ini juga jauh dari prinsip nasihat menasihati  yang sangat ditekankan oleh agama. Rasulullah s.a.w. bersabda:


مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا –وَفِى رِوَايَةٍ: مَنْ غَشَّ-


Maksudnya: “Sesiapa menipu kita, maka dia bukan termasuk golongan kita”, (menurut sebuah riwayat menggunakan kata: Sesiapa menipu …).


Jika orang yang melakukan al-Najasy mendapat upah dari penjual, maka uang yang didapatkan termasuk riba. Ulama bersepakat mengatakan bahawa orang yang melakukan praktik ini termasuk orang yang melakukan maksiat kepada Allah s.w.t., jika memang dia tidak mengetahui bahawa praktik seperti ini dilarang.


Hukum Transaksi Yang Diikuti Praktik al-Najasy


Sebahagian ulama berpendapat bahawa transaksi perniagaan yang diikuti dengan prektik al-Najasy adalah fāsid (rosak atau tidak sah).[3]


Sebahagian ulama yang lain mengatakan: Jika yang melakukan praktik al-Najasy adalah termasuk dari orang-orang yang menjual barangan tersebut, atau orang yang sudah bekerjasama dengan penjual, maka transaksi perniagaan tersebut fāsid (rosak atau tidak sah), kerana ada unsur kesengajaan dari pelaku transaksi. Namun apabila yang melakukan praktik al-Najasy adalah orang luar yang tiada kesepakatan apapun dengan pedagang, maka akad yang terjadi mengambil hukum sah. Imam al-Syāfi‘ī termasuk yang menyokong pendapat ini, dan memberikan dalil bahawa orang yang menjual bukanlah orang yang malakukan al-Najasy, sehingga transaksi mengambil hukum sah.


Selain dari pendapat di atas, sebahagian besar ulama berpendapat bahawa transaksi jual-beli tersebut tetap sah, dan mereka tidak mempedulikan siapa orang yang melakukan praktik al-Najasy itu.


Makna Yang Menyeluruh Kata al-Najasy


Secara bahasa, al-Najasy bererti membuat sesuatu menjadi menarik namun dengan cara menipu dan mengelabuhi (gharar). Atas dasar erti secara bahasa ini, maka larangan praktik al-Najasy dapat diertikan sebagai larangan menipu atau mengelabuhi ketika bertransaksi dengan pihak lain sehingga pihak lain tersebut terzalimi. Allah s.w.t. berfirman dalam surah Fātir, 35: 43, yang ertinya: “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.”


Dalam sebuah hadith disebutkan:


اَلْمِكْرُ وَالْخِدَاعُ فِى النَّارِ


Maksudnya: “(Orang yang melakukan) rekayasa dan tipuan akan berada di neraka.”


Dalam kitab sunan al-Tirmidhī disebutkan:


مَلْعُوْنٌ مَنْ ضَارَّ مًسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ


Maksudnya: “Orang yang melakukan tindakan yang membahayakan seorang muslim atau merencanakan (tindakan-tindakan jelek) terhadapnya, adalah orang yang terlaknat.”


Sehingga dapat disimpulkan bahawa semua transaksi yang mengandung unsur penipuan (gharar), apapun nama dan bentuk macamnya; menyembunyikan aib barang perniagaan, mencampur barang yang baik dengan yang jelek atau yang lainnya adalah merupakan praktik niaga yang dilarang agama, sebagaimana praktik al-Najasy.


Penipuan hanya boleh dilakukan apabila kita bertransaksi dengan orang-orang kafir yang sedang memerangi kita (al-kāfir al-harbī), kerana Rasul s.a.w. bersabda:


اَلْحَرْبُ خِدْعَةٌ


Maksudnya: “Perang adalah tipu daya.”


Ketiga: Larangan Saling Membenci


Kebencian adalah perasaan tidak suka yang muncul dalam hati seseorang. Jika kita meneliti sabda-sabda Rasul s.a.w., maka kita akan menemukan bahawa sikap benci terhadap sesama Muslim adalah salah satu hal yang sangat dilarang oleh Rasulullah s.a.w., jika kebencian itu muncul kerana dorongan hawa nafsu. Apabila kebencian itu didasarkan atas alasan-alasan keagamaan yang dibenarkan maka kebencian itu dibolehkan. Hal ini dapat difahami, kerana persaudaraan sesama muslim merupakan prinsip utama dalam agama Islam. Allah s.w.t. berfirman dalam surah al-Hujurāt, 49: 10, yang ertinya: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara.”


Rasulullah s.a.w. juga bersabda: “Demi Zat Yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya. Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman. Dan kalian belum dianggap beriman (dengan keimanan yang sempurna) sehingga kalian saling mengasihi (di antara sesama).”


Jika kita mengkaji sejarah, maka kita dapat menyimpulkan bahawa  rasa kasih sayang dan persaudaraan mempunyai peranan yang sangat penting pada awal-awal sejarah umat Islam. Allah s.w.t. berfirman dalam surah Āli Imrān, 3: 103, yang ertinya: “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, kemudian menjadilah kamu (kerana nikmat Allah) orang yang bersaudara.” Di lain ayat, iaitu dalam surah al-Anfāl, 8: 62-63, Allah s.w.t. berfirman yang ertinya: “Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mukmin. (62) Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.”


Keempat: Larangan Saling Memalingkan Wajah (al-Tadābur)


Yang dimaksud dengan al-Tadābur adalah sikap saling menjauhkan diri dan saling memusuhi sehingga mereka tidak ingin saling berpandangan. Erti ini sesuai dengan makna teks kata al-Tadābur itu sendiri, iaitu membelakangi kawan dengan disertai memalingkan muka. Sikap seperti ini dilarang keras oleh Rasulullah s.a.w. dan hukumnya haram apabila pokok permasalahan yang menjadi objek perselisihan mereka adalah masalah duniawi (yang tidak berhubung kait dengan masalah-maslaah  keagamaan yang asasl). Sikap seperti inilah yang dilarang oleh Rasulullah dalam sabdanya:


لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ


Maksudnya: “Seorang Muslim tidak boleh menjauhi saudaranya lebih daripada tiga hari. Mereka bertemu, tetapi saling mencibirkan bibirnya. Yang terbaik di antara mereka adalah yang mau mulai melontarkan ucapan salam.”


Adapun menjauhi saudara kerana alasan keagamaan, maka hal tersebut dibolehkan walaupun sampai melewati tiga hari, sebagaimana keterangan hadith yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad; Sewaktu perang Tabuk ada tiga sahabat Nabi yang melarikan diri dari medan perang. Ketika Rasul mengetahui tentang hal itu, Beliau memerintahkan para sahabat untuk menjauhi ketiga sahabat tersebut selama lima puluh hari. Hal ini Beliau lakukan dengan tujuan supaya menjadi pengajaran bagi ketiga sahabat yang telah lari dari medan perang dan juga menjadi ibrah bagi para sahabat yang lain agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan munafik.


Memutus komunikasi dengan seseorang juga dibolehkan, apabila orang tersebut termasuk ahli Bid‘ah, penyeru terhadap perbuatan maksiat dan hawa nafsu. Imam al-Khattābī membolehkan seseorang menjauhi anak atau isterinya dengan maksud memberi pelajaran, meskipun lama waktunya melewati tiga hari. Sikap seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap isterinya selama satu bulan, dan inilah yang dijadikan dalil oleh Imam al-Khattābī.


Kelima: Larangan Membeli Barang Yang Sudah Ditawar Oleh Orang Lain


Larangan membeli barang yang sudah ditawar oleh orang lain banyak kita temukan dalam hadith-hadish Nabi s.a.w.. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī dan Muslim dari sahabat Abū Hurairah r.a. yang menceritakan bahawa Rasul s.a.w. bersabda: “Seorang mukmin tidak boleh membeli barang yang sudah ditawar oleh saudaranya.”


Di antara contoh praktik pembelian seperti ini adalah, ketika ada seseorang yang hendak membeli barang, kemudian ada seorang penjual lain yang berkata kepadanya: “Urungkan pembelianmu. Belilah dari saya. Saya mempunyai barang yang lebih bagus atau barang yang lebih murah.” Contoh lainnya adalah, di saat ada orang yang membeli barang dari seorang penjual kemudian ada orang lain yang berkata kepada penjual: “Batalakan transaksi jual belimu dengannya. Saya akan membeli barang itu dengan harga yang lebih tinggi.” Ulama bersepakat bahawa dua praktik transaksi di atas adalah hukumnya haram.


Imam al-Nawāwī berkata: “Bentuk transaksi seperti ini di saat jual beli adalah dosa dan dilarang oleh agama. Namun (praktik berikut ini, iaitu) apabila ada orang ketiga yang datang kemudian membeli atau menjual (barang yang masih dalam masa transaksi antara penjual dan pembeli pertama (barang itu belum dibeli atau dijual))  maka transaksinya tetap sah. Pendapat ini adalah pendapat yang disokong oleh ulama Syāfi‘iyyah, Abū Hanīfah dan ahli-ahli fiqh yang lain.[4]


Keharaman transaksi seperti ini juga berlaku dalam akad pesanan. Contohnya adalah, jika ada pemilik barang dan seorang pemesan sedang melakukan transaksi, kemudian ada orang ketiga berkata kepada pemilik barang, “Saya akan membeli barang kamu itu dengan harga yang lebih mahal”, atau orang ketiga itu berkata kepada pemesan, “Batalkan transaksi Anda dengan dia, saya akan jual barang yang lebih bagus kepadamu atau barang saya lebih murah dari pada barang dia”, maka orang ketiga ini telah melakukan dosa.


Yang perlu ditekankan juga adalah, keharaman transaksi ini berlaku secara umum baik terhadap sesama Muslim maupun terhadap orang kafir, kerana masalah ini berhubungan kait dengan komitmen terhadap janji untuk memperlakukan kafir Dhimmī dengan baik.


Hikmah dari larangan transaksi ini adalah untuk menghindarkan adanya pihak yang dirugikan dan disakiti hatinya.


Adapun transaksi lelong barangan (muzāyadah), hukumnya boleh dilakukan, dan bukan termasuk kategori tindakan terlarang. Ini kerana, pada akad ini intervensi orang ketiga terjadi sebelum akad diputuskan oleh penjual dan pembeli. Rasulullah s.a.w. pernah menawarkan barang perniagaannya, dan Beliau berkata: “Siapakah yang berani menawar lebih mahal?”


Keenam: Menebarkan Semangat Persaudaraan


Dalam hadith yang kita bahas ini, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.” Potongan hadith ini dapat diertikan, berusahalah kalian untuk memupuk rasa persaudaraan terhadap sesama, dengan menjauhkan rasa dengki (hasad), al-Najasy, saling benci, saling berpaling muka atau membeli barang yang sudah ditawar oleh saudara yang lain. Hendaknya kalian membangun rasa cinta, saling mengasihi, saling membantu melakukan kebajikan di antara sesama dengan di dasarkan dengan hati yang tulus dan ikhlas. Janganlah kalian lupa bahawa kalian adalah hamba Allah s.w.t. yang harus taat terhadap perintah-perintah-Nya, dan di antara perintahnya adalah hendaknya kalian bagaikan saudara, saling membantu dalam memperjuangkan ajaran-ajaran Islam dan menegakkannya. Perjuangan dalam berdakwah tidak akan berhasil apabila tidak disokong dengan semangat persaudaraan dan barisan pejuang-pejuang yang kuat. Allah s.w.t. berfirman dalam surah al-Anfāl, 8: 62: 63, yang ertinya: “Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mukmin. (62) Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).”


Persaudaraan antar sesama tidak akan kuat apabila hak-hak asasi kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari belum dilaksanakan. Hak-hak asasi itu adalah seperti mengucapkan salam, mendoakan ketika ada kawan yang bersin, menjenguknya apabila sakit, mengantarkan jenazah sehingga ke kubur, memenuhi undangan dan memberinya nasihat.


Ketujuh: Kewajiban Seorang Muslim Terhadap Sesama


Allah s.w.t. memerintahkan umat Islam untuk membiasakan diri melakukan hal-hal yang dapat menumbuhkan rasa persaudaraan di antara mereka. Allah s.w.t. berfirman dalam surah al-Hujurāt, 49: 10, yang ertinya: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara kerana itu damaikanlah antara kedua saudaramu.”


Di sisi lain, Allah s.w.t. juga melarang umat Islam melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan di antara mereka. Di antara tindakan yang mempunyai peranan besar dalam menimbulkan pertelingkahab dan perpecahan adalah empat hal berikut; menzalimi seseorang, menerlantarkan, berkata bohong dan mendustakan orang lain dan yang keempat: menghinanya. Keimanan dan keislaman seseorang belum dianggap sempurna apabila dia belum dapat mencintai kawan Muslim sebagaimana dia mencintakan dirinya sendiri. Kecintaan itu dapat dinyatakan dalam bentuk menahan diri dari melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dan membahayakan kawannya itu.


Hal-hal negatif yang saya sebut di atas tentunya masuk kategori tindakan yang harus diprioritaskan untuk dijauhi oleh seorang Muslim apabila memang dia ingin termasuk orang yang mempunyai iman sempurna.


Tindakan-tindakan positif dan akhlak-akhlak mulia seorang Muslim tidak hanya dipraktikkan apabila ia berhubungan dengan sesama Muslim sahaja, namun sikap-sikap terpuji itu juga harus dilakukan apabila dia berinteraksi dengan sesama manusia yang lain. Oleh kerana itu empat tindakan negatif di atas tidak boleh dilakukan oleh siapapun di saat dia sedang berhubungan dengan manusia manapun. Jika terpaksa dilakukan terhadap orang kafir, itu pun kerana kekafirannya bukan atas dasar sifat kemanusiannya.


a. Larangan Menganiaya


Melakukan hal-hal yang dapat membahayakan jiwa, harta, agama, kehormatan atau harta seseorang adalah tindakan yang dilarang agama, kecuali apabila ada dalil-dalil agama yang membolehkan hal tersebut. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan penganiayaan, kezaliman, melanggar kehormatan manusia dan bertentangan dengan prinsip persaudaraan. Selain itu, tindakan ini juga bertentangan dengan sabda Rasul s.a.w. yang menekankan prinsip keadilan dan larangan menganiaya dalam berhubungan dengan sesama. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah s.w.t. berfirman: يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا yang ertinya: “Wahai hambaku, sesungguhnya Aku mengharamkan diriku melakukan kezaliman. Aku juga menjadikan kezaliman sebagai hal terlarang bagi kalian, karenanya janganlah kalian saling menzalimi.”


b. Larangan Menelantarkan Orang Lain


Merendahkan harga diri seorang Muslim adalah larangan keras dalam agama. Terlebih lagi apabila orang tersebut berada dalam kondisi sangat memerlukan pertolongan. Alah s.w.t. berfirman dalam surah al-Anfāl, 8: 72, yang ertinya: “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.”


Imam Ahmad juga meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:


مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ فَلَمْ يَنْصُرْهُ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَنْصُرَهُ أَذَلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Maksudnya: “Jika ada seorang Mukmin direndahkan dihadapan seseorang, dan orang itu tidak mau menolongnya, padahal dia mampu menolongnya, maka Allah akan merendahkannya di hadapan semua makhluk besok di hari kiamat.”


Menolong seseorang harus dilakukan baik dalam masalah duniawi ataupun masalah ukhrawi. Contoh permaslaahan duniawi adalah apabila ada orang yang dianiaya maka kita harus menolongnya dan menahan orang yang akan menganiaya agar tidak melakukan hal tersebut. Sedangkan contoh masalah ukhrawi adalah apabila kita melihat ada orang yang perbuatannya melenceng, maka kita harus meluruskan dengan memberinya nasihat. Kita tidak boleh membiarkan atau menerlantarkannya.


c. Larangan Berbohong atau Berdusta


Di antara kewajiban seorang Muslim terhadap yang lain adalah kewajiban berbicara jujur dan kewajiban mempercayai ucapan kawannya. Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan bahawa sahabat al-Nuwās bin Sam‘ān r.a. meriwayatkan sebuah hadith dari Nabi s.a.w.: “Adalah bentuk pengkhianatan yang sangat besar, apabila ada kawanmu berbicara denganmu dengan jujur, namun kamu mengatakan hal-hal bohong kepadanya.”


d. Larangan Menghina Sesama Muslim


Seorang Muslim juga tidak boleh menghina atau merendahkan harga diri saudaranya sesama muslim. Jika kita perhatikan, Allah s.w.t. menciptakan manusia dengan memuliakan dan memberinya tanggung jawab. Semasa menciptakan, Allah tidak pernah merendahkan harga diri manusia atau menghinanya. Kerananya sikap merendahkan diri orang lain, termasuk kategori kesombongan yang sudah melewati batas kewajaran, dan termasuk dosa besar.


Berkenaan dengan hal ini Rasulullah s.a.w. bersabda: “Cukuplah seseorang itu melakukan kejelekan apabila dia menghina saudaranya Muslim.”


Menghina orang lain juga termasuk jenis kesombongan, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah s.a.w.:


بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ


Maksudnya: “Sombong adalah tidak dapat menerima kebenaran dan menganggap rendah terhadap orang lain.”


Dalam kitab Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadith yang ertinya: “Sombong adalah tidak peduli tentang kebenaran dan menganggap rendah orang lain.” Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Mencela orang lain dan tidak menganggapnya.”


Sikap negatif seperti ini dapat terjadi kerana orang yang sombong selalu melihat dirinya merupakan orang yang sempurna, sedangkan orang lain adalah orang yang banyak kekurangan sehingga pantas dihina dan direndahkan.


Kesombongan termasuk perbuatan dosa yang mempunyai ancaman sangat berat. Orang yang melakukan kesombongan akan dimasukkan ke neraka dan dijauhkan daripada surga. Dalam kitab Sahīhī Muslim disebutkan bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Orang yang di dalam hatinya terdapat rasa sombong meskipun sekecil dharrah, tidak akan masuk surga.”


Dalam kitab Sahīh al-Bukhārī dan Sahīh Muslim terdapat sebuah hadith yang diriwayatkan oleh sahabat Hārithah bin Wahb r.a., bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Inginkah kalian aku beritahu siapakah penduduk surga? (penduduk surga adalah) orang yang lemah dan teraniaya. Jika mereka bersumpah atas nama Allah maka mereka akan menjalankannya. Inginkah kalian aku beritahu siapakah penduduk neraka? (penduduk neraka adalah) setiap orang yang angkuh, kasar dan sombong.”




[1] H. R. Muslim.

[2]  H. R. al-Bukhārī dan Muslim.

[3] Ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad yang disokong oleh sebahagian pengikutnya.

 [4]Lihat, al-Waafi Syarh al-Arba’n an-Nawawiyyah, Dr. Mushthaf al-Bagha, Muhyiddin Mastu